VIVAnews
- Kekuatan ekonomi Indonesia makin diperhitungkan dunia. Ekonomi negara
berpenduduk 240 juta jiwa itu akan menjadi terbesar ke-7 dunia pada
2030.
Laporan McKinsey Global Institute menyebut, Indonesia akan
menanggalkan julukan "Si Jago Kandang" dalam dua dekade mendatang. Gelar
barunya adalah "Juara Dunia Ekonomi".
Chairman McKinsey
Global Institute, Raoul Oberman, menyebut, pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi Indonesia mulai tersebar di luar Pulau Jawa. Ekonomi Indonesia
kini tak lagi bertumpu di Jakarta dan Pulau Jawa.
"Faktanya, 90
persen pusat-pusat pertumbuhan berada di luar Jawa," ujar Oberman di
sela diskusi bertajuk "Penyatuan Visi Bersama Menuju Indonesia Maju
2030," di Jakarta, Selasa 13 November 2012.
Tumbuhnya
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa itu merupakan salah satu
dampak positif urbanisasi. Urbanisasi di Indonesia telah menyebar rata
di kota-kota besar Indonesia. "Dimensi urbanisasi itu yang membuat
masyarakat lebih produktif. Kota-kota tumbuh di atas 7 persen di luar
Jawa," ujarnya.
Oberman menilai, saat ini pertumbuhan ekonomi
Indonesia paling stabil di dunia. Bahkan, melebihi pertumbuhan ekonomi
negara-negara maju yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi
dan Pembangunan (OECD).
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2012 mencapai 6,17
persen, meski angka itu turun dibanding kuartal sebelumnya 6,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didorong oleh tingkat konsumsi
domestik yang luar biasa besar.
Dalam penelitiannya selama enam
bulan, McKinsey menemukan karakteristik pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang berbeda dengan negara macan Asia lainnya. Negara macan Asia seperti
China ditunjang ekspor yang tinggi.
"Kontribusi PDB Indonesia
dari komoditas ekspor hanya 11 persen. Tidak seperti China, konsumsi
domestik RI sangat besar," katanya.
Komite Ekonomi Indonesia
(KEN) pun meyakini, Indonesia menjadi negara maju bukan lagi sebuah
mimpi. Bahkan Ketua KEN, Chairul Tanjung, lebih optimistis.
Ia
menyebut Indonesia dalam jalur yang benar menuju lima besar kekuatan
ekonomi dunia pada 2030. "Meskipun belum seluruh komponen bangsa percaya
Indonesia bakal menjadi negara maju," kata pemilik CT Corporation itu.
Chairul
mengingatkan, Indonesia jangan terjebak ke dalam negara berpendapatan
menengah. Banyak contoh negara berpendapatan menengah gagal menjadi
negara maju. "Pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sumber daya alam,
pada titik tertentu akan mengalami kejenuhan," katanya.
KEN
menyadari, pertumbuhan yang bertumpu pada sumber daya alam dan tenaga
kerja yang murah tidak akan berkesinambungan. Upaya Indonesia menjadi
negara maju harus didukung kualitas sumber daya manusia dan penguasaan
teknologi, inovasi, kualitas pendidikan, infrastruktur, serta kemampuan
daya saing yang memadai.
"Indonesia harus memastikan
berlangsungnya transformasi ekonomi dari yang berbasiskan sumber daya
alam menuju ekonomi yang berbasis sumber daya manusia dan teknologi,"
katanya.
Sektor Unggulan
Meski data Badan
Pusat Statistik menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2012
tak setinggi kuartal sebelumnya, sejumlah sektor masih akan menjadi
unggulan. Raoul Oberman membeberkan beberapa sektor yang berpotensi
menopang perekonomian Indonesia pada 2030.
Empat sektor potensial itu adalah pelayanan konsumen atau jasa, pertanian dan perikanan, sumber daya alam, serta pendidikan.
Pada
2030, potensi pasar domestik pada empat sektor itu akan meningkat dari
US$0,5 triliun menjadi US$1,8 triliun. Selain itu, optimisme Indonesia
sebagai negara maju pada 2030 bakal didorong peningkatan kelas konsumen
menjadi 135 juta dari 45 juta penduduk yang saat ini berpendapatan
US$3.600 per kapita per tahun.
"Dua dekade ke depan, ada 90 juta
kelas konsumen baru. Kecuali China dan India, pertumbuhan kelas konsumen
ini lebih tinggi dari negara mana pun," ujar Oberman.
Agar
pertumbuhan ekonomi dapat terjaga, dia menjelaskan, Indonesia wajib
memaksimalkan potensi energi terbesar yang ada di dalam negeri, yaitu
panas bumi. Selain itu, Indonesia wajib melakukan efisiensi konsumsi
bahan bakar minyak (BBM), yang sekitar 80 persennya dipenuhi dari impor.
Salah
satu cara yang ditawarkan adalah dengan memperbaiki infrastruktur jalan
untuk meningkatkan efisiensi. "Indonesia masih 80 persen mengimpor BBM
dan itu tidak efektif. Kurangi konsumsi BBM 15 persen, sehingga
penurunan emisi 10 persen efek rumah kaca," ucapnya.
Meski lebih optimistis,
Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, pun mengakui masih ada
pekerjaan rumah yang harus dikerjakan selain menjaga momentum
pertumbuhan ekonomi. Di samping pendapatan domestik bruto per kapita
masyarakat meningkat, pengembangan nilai tambah juga harus
ditingkatkan.
Untuk itu, pentingnya
pengembangan sumber daya manusia guna menghasilkan kreativitas yang
bisa menggerakkan ekonomi. Negara maju bukan dinilai dari pertumbuhan
ekonomi, namun juga kesejahteraan yang merata. Ini ditunjukkan oleh
tiga indikator Human Index Development, yaitu kesejahteraan,
pendidikan, dan kesehatan.
Jika itu terpenuhi,
Indonesia dapat menjadi negara maju pada 2025, atau lebih cepat lima
tahun dari prediksi lembaga riset McKinsey Global Institute. "Kalau
melihat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI), pada 2025 kita sudah dikategorikan negara
berpenghasilan tinggi," kata Hatta.
Hambatan Birokrasi
Langkah
Indonesia menjelma sebagai kekuatan ekonomi besar dunia bukan tanpa
hambatan. Setidaknya, Komite Ekonomi Nasional menyebut kendala birokrasi
akan menjadi hambatan utama.
Tuntutan terhadap pelayanan kepada
masyarakat semakin lama semakin tinggi. Chairul Tanjung menjelaskan,
tantangan terbesar adalah bagaimana pelaku birokrasi memperbaiki diri
serta membuat pelayanan lebih mudah dan simpel.
Hambatan kedua
adalah infrastruktur, baik fisik maupun non fisik. Infrastruktur fisik
antara lain jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandar udara.
Menurut
dia, Indonesia kekurangan infrastruktur fisik. Karena, saat itu, tidak
ada satu lembaga pun yang memprediksi terjadinya peningkatan pertumbuhan
ekonomi luar biasa.
"Contohnya, bagaimana Bandara Soekarno-Hatta
didesain untuk 25 juta penumpang, tapi tahun ini sudah 60 juta
penumpang. Tidak ada yang menyangka. Kita lambat mengantisipasi
pembangunan infrastruktur," katanya.
Selain itu, buruknya kondisi
infrastruktur, imbuhnya, berimbas pada logistik nasional. Akibatnya,
selisih harga barang-barang di wilayah barat Indonesia dan timur terlalu
jauh.
Sementara itu, untuk infrastruktur non fisik seperti informasi, komunikasi, dan teknologi juga masih minim. "Di Jakarta, broadband saja kurang, apalagi di Papua," katanya.
Ketiga
hambatan tersebut membutuhkan pembenahan secara konsisten untuk
menjamin pertumbuhan ekonomi dan kesinambungan pembangunan Indonesia.
Untuk memperbaikinya, dibutuhkan waktu 10-20 tahun dan Indonesia harus
bisa menjadikan perbaikan ketiganya menjadi budaya baru.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menilai, Indonesia baru menjadi negara
maju pada 2045. Tepat pada satu abad setelah Kemerdekaan Indonesia.
"Indonesia di abad-21 menjadi negara maju, yaitu pada tahun 2045," kata
Yudhoyono.
Menurut SBY, kondisi itu berdasakan sejarah
negara-negara maju di dunia. Banyak negara seperti Inggris membutuhkan
waktu ratusan tahun untuk menjadi maju. Indonesia, imbuhnya, masih harus
melalui empat hingga lima kali pemilihan presiden untuk bisa menjadi
negara maju.
Presiden menjelaskan, pada satu abad Indonesia
merdeka, Indonesia akan memiliki ekonomi yang kuat dan berkeadilan,
iklim demokrasi yang matang dan stabil, serta perdaban yang unggul dan
maju.
Yudhoyono bahkan tidak terlalu percaya diri Indonesia
menjadi negara maju pada 2030, seperti yang diyakini Komite Ekonomi
Nasional, maupun hasil riset McKinsey.
Menurut SBY, pada 2030,
Indonesia baru menjadi negara berkembang papan atas yang memiliki
ekonomi yang kuat dan semakin produktif, inovatif, dengan high-income economy.
Indonesia,
Presiden melanjutkan, saat ini menjalankan strategi "Keep Buying
Strategy," yang berarti dalam masa krisis jangan berhenti untuk membeli
barang dan jasa. Logikanya adalah jika masyarakat dengan konsumsi
domestik yang kuat, produsen dalam negeri akan tetap bertahan.
Pengusaha
juga tidak perlu melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh dan
karyawan, sehingga sektor riil tidak kolaps. Situasi itu berujung pada
penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi yang terjaga.
"Kita
tidak memilih ekonomi berorientasi ekspor, melainkan memperkuat pasar
domestik dan ekonomi nasional yang mesti berdimensi kewilayahan,"
paparnya.